Senin, 23 Januari 2012

BAHAN AMDI


BAHAN AMDI

1. Modernisme, Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme, Feminisme dan Hermeneutika
2. QASIM AMIN
3. FAZLURRAHMAN
4. ARKOUN
5. FATIMA MERNISSI
6. RIF’AT HASAN
7. ASGHAR ALI ENGGINEER
8. HASAN HANAFI
9. SITI MUSDAH MULIA


DALAM AL-QUR’AN terkandung penegasan bahwa kaum Muslimin merupakan “kelompok terbaik di antara manusia” (khaira ummatin ukhrijat li n-naas), dan agama Islam diturunkan Allah “untuk diunggulkan-Nya di atas semua agama” (li yuzh-hirahuu `ala d-diini kullih). Janji Allah di atas terbukti dengan kenyataan bahwa sebagian besar halaman sejarah Islam selama empat belas abad diwarnai oleh kisah ekspansi dan kemenangan. Hanya satu abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, pada pertengahan abad ke-8 Masehi kekuasaan Islam membentang dari Spanyol sampai Xinjiang. Meskipun pusat kekhalifahan di Baghdad dihancurkan oleh Mongol pada pertengahan abad ke-13, dengan takdir Allah laskar penakluk ini berduyun-duyun masuk Islam dan menyebarkan agama ini di Rusia, lalu keturunan mereka menegakkan kesultanan Moghul (Mongol) di India dari abad ke-16 sampai abad ke-19. Ketika umat Islam terusir dari Spanyol pada akhir abad ke-15, muncul kesultanan Turki yang menguasai seluruh Semenanjung Balkan sampai awal abad ke-20. Bahkan ketika hegemoni politik Islam mulai redup pada abad ke-17, Islam melalui jalur perdagangan tersebar luas di Asia Tenggara dan pantai timur Afrika.

Pengalaman sejarah tersebut memperkuat keyakinan umat Islam bahwa kemenangan dan kesuksesan itu akan terus dijamin oleh Allah selama mereka berpegang teguh kepada ajaran agama. Jika umat Islam mengalami kekalahan atau kemunduran, mereka segera ingat kepada firman suci bahwa “masa-masa kejayaan dipergilirkan di antara manusia” (tilka l-ayyaamu nudawiluhaa baina n-naas). Ketika roda sejarah sedang berputar ke bawah, di kalangan umat Islam selalu bermunculan tokoh-tokoh yang mengumandangkan seruan “kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi”.

Sebuah hadits yang memberitakan isyarat Nabi Muhammad SAW bahwa akan muncul orang-orang yang memperbaharui (yujaddidu) agama Islam “pada setiap pangkal seratus tahun” (`alaa kulli ra’si mi’ati sanah).

Pada abad ke-18, tatkala umat Islam kehilangan kreativitas dan tenggelam dalam kebekuan pemikiran, akibat tertutupnya pintu ijtihad oleh institusi-institusi keagamaan, bangkitlah para tokoh pembaharu seperti Muhammad ibn Abdul-Wahhab (1703–1792) di Semenanjung Arabia, Syah Waliyullah ad-Dahlawi (1703–1762) di India, dan Muhammad ibn Ali as-Sanusi (1791-1859) di Afrika Utara. Sebagaimana halnya Ibn Taimiyyah lima abad sebelumnya, para pembaharu pada abad ke-18 itu memusatkan gerakan mereka untuk mencairkan “kebekuan internal” yaitu memurnikan tauhid, menentang dominasi mazhab, dan memberantas bid`ah. Adapun masalah “ancaman eksternal” tidaklah menjadi fokus pemikiran, sebab sebagian besar Dunia Islam belum tersentuh oleh kekuatan kelompok non-Muslim. Meskipun sejak abad ke-17 bangsa-bangsa Eropa Barat sudah berdatangan sebagai pedagang, penyebar Injil atau prajurit (gold, gospel, glory ataumercenary, missionary, military), kehadiran mereka sampai akhir abad ke-18 tidaklah menggoyahkan tatanan peradaban umat Islam.

Bangsa-bangsa Eropa Barat sebelum abad ke-16 tidaklah pernah memiliki peradaban yang dapat dibanggakan dalam sejarah. Malahan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang-orang Eropa Barat pada abad-abad pertengahan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pada universitas-universitas Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berkat perkenalan dan pembelajaran dari peradaban Islam, Eropa Barat terstimulasi untuk bangkit dari suasana kebodohan yang mereka sebut Dark Age (Zaman Kegelapan), menuju masa renaissance (kelahiran kembali) yang bermula pada abad ke-16. Kebangkitan Eropa Barat diawali dengan proses sekularisasi atau penerapan faham sekularisme, yaitu pemisahan agama Nasrani dari pengaturan kehidupan. Dengan demikian masyarakat terbebas dari kungkungan dogma-dogma gereja dan terbukalah pengembangan ilmu pengetahuan melalui penalaran akal. Maka pada abad ke-18 yang dikenal sebagai Masa Pencerahan (Enlightenment), Eropa Barat melahirkan peradaban modern.


Istilah “modern” ini sangat perlu kita fahami. Berasal dari kata Latin modernus yang artinya “baru saja; just now”, pengertian modern mengacu bukan hanya kepada “zaman” (kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman purba, zaman pertengahan dan zaman modern), tetapi yang lebih penting mengacu kepada “cara berfikir dan bertindak”. Peradaban modern ditandai oleh dua ciri utama, yaitu rasionalisasi (cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara bertindak yang teknikal). Tumbuhnya sains dan teknologi modern diikuti oleh berbagai inovasi di segenap bidang kehidupan.

Di bidang politik muncul faham nasionalisme, sistem partai dan parlemen, serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Di bidang ekonomi lahir berbagai industri, sistem pertukaran barang, serta korporasi bisnis. Di bidang sosial budaya timbul institusi dan cara hidup yang lebih efisien, mulai dari sistem administrasi dan pendidikan sampai kepada pemeliharaan kesehatan dan cara berpakaian. Semua ini ditunjang oleh proses pertukaran ide yang efektif melalui buku cetak dan media massa serta sarana komunikasi dan transportasi yang canggih sebagai buah lezat dari ilmu pengetahuan.

Dengan segala keunggulan peradaban modern, terutama di bidang persenjataan militer, bangsa-bangsa Eropa Barat melakukan ekspansi ke seluruh penjuru bumi, termasuk Dunia Islam. Setelah selama satu alaf (millennium) umat Islam berada di peringkat atas dalam peradaban dunia dan tidak tergoyahkan oleh peradaban manapun, tiba-tiba pada abad ke-19 arus sejarah berubah arah. Daerah-daerah Muslim, dari Maroko sampai Merauke, satu demi satu jatuh ke dalam cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Eropa. Indonesia dikuasai Belanda, India dan Malaysia dijajah Inggris, Asia Tengah jatuh ke tangan Rusia, Austria merebut Bosnia-Herzegovina, Italia mencaplok Libia dan Ethiopia, sedangkan sebagian besar Afrika dan Timur Tengah terbagi-bagi ke dalam kekuasaan Inggris dan Perancis. Pada akhir Perang Dunia I tahun 1918, daerah-daerah Muslim yang masih merdeka hanyalah Afghanistan, Iran, Turki, dan Arabia. Dominasi bangsa-bangsa Eropa Barat mengakibatkan tersebarnya peradaban modern di seluruh dunia.

Modernisasi Islam melanda dunia Islam sejak akhir abad ke19, bermula di Mesir. Dua pemikir utama modernisasi Islam adalah Jamaluddin Al 'Afghani (1839-1897) dan muridnya Muhammad Abduh (1845-1905). Pengaruh pemikiran dua orang ini kemudian meluas di bawah aktivitas murid utama Abduh, yang lahir di Syria, Rashid Rida (1865-1935), melalui majalah Al Manar yang diterbitkannya dari Kairo sejak 1898. Rashid Rida juga seorang aktivis nasionalis Arab, yang terkait dengan kelompok Turki Muda (Young Turk) yang membawa ide-ide liberal sekuler. Para reformis ini mengatakan bahwa Islam sangat perlu menyerap filsafat dan ilmu pengetahuan modern, demi mencapai kemajuan sosial sebagaimana yang telah dicapai oleh dunia Barat.

Walapun retorika modernis tampak anti-Barat, gerakan ini memang lahir dengan semangat anti-imperialisme Barat, tetapi pada saat yang sama juga penuh dengan kekaguman terhadapnya. Modernisme telah membuka pintu untuk 'membanjiri doktrin dan hukum Islam dengan inovasi-inovasi dunia modern'. Muhammad Abduh seolah mencoba membangun benteng untuk mencegah sekularisme, tetapi yang dibangunnya justru jembatan untuk menuju ke sana.

Di akhir abad 20 Fazlurrahman mengklaim dirinya sebagai juru bicara gerakan baru yaitu  Neomodernisme Islam dan menyebut gerakan modernis sebelumnya sebagai modernism klasik. Dengan tegas dia mengatakan Neomodernisme Islam adalah:
mengembangkan sikap kritis tentang Barat dengan mengkaji gagasan dunia Barat dan ajaran-ajaran sejarah keagamannya. Bila hal ini tidak dikaji secara obyektif, maka keberhasilannya dalam mustahil kaum muslimin menghadapi dunia modern.
ingin merajut kembali kekayaan tradisi Muslim lalu dikemas secara metodologis untuk disesuaikan dengan perkembangan zamanyaitu dengan penafsiran kembali Islam sesuai dengan konteks zaman modern … maka satu-satunya jalan yang dapat mereka tempuh adalah merumuskan kembali garis-garis kebijaksanaan yang positif sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer dan berdasarkan petunjuk-petunjuk sosial dan moral yang diberikan oleh Islam 2
merombak kembali asal-usul dan pengembangan keseluruhan tradisi Islam, dengan cara dimana al-Qur’an dan Sunnah Rasul didekati, ditangani dan ditafsirkan.
membedakan secara jeli antara Islam normatif dan Islam historis. Dalam memahami al-Qur’an perlu dibedakan aspek ideal moral (sebagai tujuan) dengan ketentuan legal-spesifik; dimana aspek ideal moral yang lebih pantas diterapkan.
metodologi penafsiran al-Qur’an harus dilakukan dengan gerakan ganda (DOUBLE MOVEMENT) dari sitausi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali ke masa kini.

Teori double movement Rahman ini, merupakan salah satu bukti bagaimana ia merepresentasikan gaya Barat dalam melakukan liberalisasi pada syari'at Islam atas nama pembaruan. Dalam mengaplikasikan teorinya tersebut, sebelumnya Rahman mempunyai pandangan yang perlu dicermati ketika mendengungkan pembaruan dalam Islam. Ia mengusulkan supaya pembaruan (reformasi/tajdid) mestilah kembali kepada al-Qur'an dan al-sunnah. Tetapi al-Qur'an yang ia pahami tidaklah seperti yang diyakini oleh kaum muslimin pada umumnya. Ia menyatakan bahwa al-Qur'an merupakan firman Allah yang pada dasarnya adalah satu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi manusia, dan bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti shalat, puasa, dan haji.[10] Dari awal hingga akhir menurutnya, al-Qur'an selalu memberikan penekanan pada semua aspek-aspek moral yang diperlukan bagi tindakan kreatif manusia. Oleh karenanya, kepentingan sentral al-Qur'an adalah manusia dan perbaikannya.[11]

Begitu pula dengan pandangannya terhadap sunnah Nabi saw., dimana pada intinya sunnah Nabi merupakan substansi perbaikan manusia. Oleh karena itu, menghidupkan al-sunnah adalah keniscayaan dalam melakukan pembaruan. Sunnah yang hidup adalah praktik aktual yang dilakukan umat Islam yang secara ideal bersumber dari teladan Nabi. Oleh karena itu, konsep sunnah bersifat dinamis dan berkembang sesuai tuntutan lingkungan dan masanya.[12] Dengan kata lain, sejumlah aturan-aturan hukum didalam al-Qur'an dan al-hadits tidak bersifat final dan berlaku untuk selamanya. Tetapi senantiasa berubah dengan landasan utama kesesuaiannya dengan alam realitas yang selalu berubah pula, baik waktu atau tempatnya.

Teori double movement Fazlur Rahman menjadi salah satu referensi muslim liberal Indonesia. Ia gunakan teorinya ini untuk memahami dan menginterpretasi al-Qur'an, khususnya hukum Islam.[13] Hubungan timbal balik antara wahyu ketuhanan (divine relation) yang suci dan sejarah kemanusiaan (human history) yang profane menjadi tema sentral. Gerak pertama dari teori ini adalah dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur'an, yakni upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami konteks mikro dan makro pada saat al-Qur'an diturunkan. Dengan pemahaman itu akan dapat melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih luas pada umumnya saat itu. Sedang gerak kedua adalah dari masa turunnya al-Qur'an kembali ke masa kini untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai sistematis dan umum dalam konteks pembaca al-Qur'an era kontemporer sekarang ini dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial modern dan humanitis kontemporer sebagai alat yang cukup baik untuk memberikan pemahaman yang baik pula tentang sejarah.[14]

Dalam teorinya ini, ia melakukan tiga langkah dalam memahami dan menginterpretasi ayat-ayat hokum. Pertama, memahami dan memaknai pernyataan dengan melihat situasi sosio-historis pada saat pernyataan itu muncul. Kedua, membuat kesimpulan terhadap pernyataan tersebut dengan mengklasifikasikan aspek ideal moral dan legal formal yang spesifik. Ketiga, ideal moral yang didapatkan sebagai kesimpulan terhadap pemaknaan dan pemahaman pernyataan tersebut dibawa ke konteks sekarang sesuai dengan sosio-historisnya.[17]

Contoh penerapanya dalam menafsirkan

Orang-orang yang mengembangkan gerakan neo-modernisme ini (atau sebagian pakar tetap menyebutnya sebagai golongan modernis) menilai Islam berdasarkan akal mereka. Beberapa kesalahan mereka dalam hal ini adalah :
Menggunakan akal untuk hal-hal yang tidak seharusnya dinalar/dicerna (masalah ghaib)
Menjadikan akal satu-satunya acuan berfikir, sehingga mereka akan menerima ajaran agama yang selaras dengan akal dan menolak yang berlawanan dengan akal.
Menghukumi dan menafsirkan wahyu dengan akal semata.

Kaum modernis ini mempengaruhi pemikiran umat dan metode berfikir mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang naql (wahyu). Mereka juga berupaya menyingkirkan sunnah/hadis dan mengatakan bahwa sistem ulama hadits tempo dulu tidak reliable lagi. Mereka menggunakan metodologi kritik ilmuwan nasrani (hermeneutika) terhadap Bible dan diterapkan kepada Al-Quran dan hadits dengan dalih studi kritis.

Di dalam masalah Fikih, kaum modernis menyatakan bahwa bunga bank itu halal, wanita yang mengalami menstruasi boleh sholat, dan seorang muslimah boleh menikah dengan pria kafir. Mereka juga mengatakan bahwa wajah wanita tidak pernah ditutup sampai 150 tahun setelah zaman Nabi, padahal hal ini sudah ada di zaman beliau. Mereka juga menyatakan bahwa hadits tentang tidak beruntungnya suatu kaum yang dipimpin oleh wanita adalah tidak benar dan tidak dapat diterapkan di zaman ini, juga poligami adalah terlarang. Ironisnya, semua ini mereka lakukan dengan rapi dan terorganisir, dengan segala bentuk media berupa majalah, televisi, konvensi dan literatur.

Sebagaimana kita saksikan bersama saat ini umat manusia di seluruh muka bumi, Islam maupun non-Islam, secara dominan sedang ditundukkan dalam satu cara hidup yang seragam. Hidup 'dalam sistem ekonomi yang sama, Kapitalisme; dalam sistem politik yang sama, Demokrasi-Liberal; dan dalam cara bernalar yang sama, Skeptis-Empiris'. Umar Vadillo dalam bukunya, Esoteric Deviation in Islam (Madinah Press, 2003), menunjukkan bahwa modernisme Islam telah sepenuhnya mengasimilasi Islam ke dalam Kapitalisme. Teknik dan teknologi yang mendominasi cara hidup kaum Muslim modern tak dapat lagi dibedakan sedikitpun dengan yang diterapkan pada cara hidup orang-orang non-Islam, kecuali pada namanya saja, yang berimbuhan kata sifat 'islam': bank Islam, partai islam, rumah sakit islam, demokrasi Islam, dan Iptek Islam, sampai pasar saham dan kartu kredit Islam.

Dalam terminologi Umar Vadillo Islam adalah 'pemerintahan tanpa negara, dan perdagangan tanpa riba'. Dasar nomokrasi Islam adalah Syariah, dan dimotori dengan pemerataan kekayaan (melalui muamalah), sedangkan dasar struktur politik modern, negara, adalah humanisme dan penumpukan harta (Kapitalisme). Dengan kata lain, terbalik dari retorika semula yang ingin menggantikan cara hidup Barat dengan cara Islam, modernisasi Islam telah berakhir sepenuhnya pada cara Barat tersebut. Alih-alih mengentaskan umat Islam dari imperialisme dan kolonialisme Barat, modernisme Islam, justru makin mengokohkan dominasinya dengan cara yang lebih halus dan terselubung. Umat Islam, tanpa menyadarinya, berada dalam sistem Negara Fiskaliv, wajah politis Kapitalisme yang sangat menindas. Pada dataran yang paling mendasar ini berarti digantikannya landasan pokok kehidupan seorang Muslim, Tawhid, diganti dengan Humanisme.

Kesesatan Kaum Modernis
Ada beberapa hal yang menyebabkan kaum modernis terperosok ke dalam pemikiran dan pemahaman yang menyimpang, bahkan sesat. Berikut ini adalah diantaranya :
Pertama, mereka melihat dunia Barat dan mencoba menafsirkan kembali (reinterpret) “agama lama” dengan sains modern dan zaman modern. Mereka berasumsi bahwa :
1. Situasi zaman ini sudah maju atau berbeda (yaitu, bukan di zaman nabi lagi). Padahal ide yang menyatakan bahwa segala sesuatu akan semakin maju dan lebih baik adalah teori Marxian dan Hegelian. Ide ini bertentangan dengan hadits Nabi yang menjelaskan bahwa tiap generasi akan semakin buruk. Karena dalam islam Islam, masyarakat yang maju adalah masyarakat yang semakin dekat dengan Allah, yang memahami dan mengaplikasikan Islam dengan lebih baik, seperti para sahabat yang disebut Al-Quran sebagai umat terbaik. Sementara kaum modernis tidak memberikan definisi kemajuan yang dimaksudkan.  Kalau zaman sekarang sudah lebih maju, dalam hal apa? Materil ataukah moril? Pada realitanya, masyarakat sekarang masih memiliki kebobrokan zaman jahiliyah seperti homoseksual, seks bebas, kriminalitas, dll.
2. Agama itu relatif tergantung waktu dan tempat, oleh karena itu kita harus menilai Islam berdasarkan “sains modern”. Modernis mengklaim Barat sebagai ahli sains dan untuk itu Islam dinilai menurut kesesuaiannya dengan sains modern. Mereka mengira bahwa Barat adalah masyarakat yang dibangun di atas sains, namun mereka gagal memperhatikan bahwa tidak semua sains yang dikemukakan Barat itu berdasarkan fakta. Bahkan, pada realitanya, banyak sains yang diklaim oleh Barat ternyata tidak lebih dari sebuah hipotesis yang belum teruji dan terbuktikan, namun hanya sekedar klaim dan manipulasi publik dengan retorika ilmiah. Selain itu, perlu diketahui bahwa setiap sains itu memiliki filosofinya sendiri-sendiri, yang akan mengarah kepada kesimpulan masing-masing. Intinya, teori sains yang dikemukakan itu bukanlah kebenaran mutlak tapi harus melalui pengujian dan percobaan, lantas bagaimana bisa digunakan untuk menilai agama?!
3. Cara berfikir sebuah masyarakat adalah berdasarkan lingkungannya, atau dengan kata lain cara berfikir masyarakat adalah produk lingkungannya. Oleh karena itu mereka menyatakan bahwa hadits sangat tergantung pada zamannya. Al-Quran juga sangat terkait dengan konteks zamannya. Padahal Allah sendiri menyatakan dengan tegas  bahwa al-Qur’an itu adalah al-Haq (kebenaran) yang lâ royba fîha (tidak ada keraguan di dalamnya), sedangkan kaum modernis menyatakan jika al-Qur’an tidak benar sekarang, maka al-Qur’an tidak pernah benar.
Kedua, metodologi yang mereka gunakan adalah keliru sehingga menyesatkan orang kepada kesimpulan yang salah. Mereka mengklaim metodologinya saintifis atau ilmiah, padahal kenyataannya seringkali tidak konsisten, atau tidak berdasar dan memiliki bukti. Diantara teknik dan prinsip yang mereka gunakan termasuk :
1. Al-Qur’an dan hadits. Ada di kalangan mereka yang mengklai bahwa Al-Quran itu adalah wahyu ketika disampaikan kepada Nabi. Namun ketika Nabi mengajarkan dan dituliskan sahabat, wahyu itu telah menjadi bahasa manusia, bukan lagi bahasa langit. Jadi Al-Quran sekarang bukanlah wahyu yang ada di Lauh Mahfuz. Dan kalaupun ada yang mengakui keotentikan Al-Quran, tetap saja mereka tidak mau mengakui keotentikan hadis Nabi. Metode mereka dalam menilai hadits berbeda dari metodologi ulama yang menilai dengan kriteria ilmu yang kompleks. Sedangkan kaum modernis di dalam menilai keotentikan sebuah hadits hanya menggunakan akal mereka yang terbatas, padahal akal manusia itu berbeda-beda sehingga hasil produknya pun juga berbeda-beda. Oleh karena itu metodologi mereka ini tidak memiliki standar ilmiah dan rancu. Kaum modernis biasanya tidak suka dengan hadits-hadits yang memiliki makna spesifik, dan mereka lebih senang dengan hadits-hadits yang memiliki redaksi umum agar dapat dimultitafsirkan.
2. Menggunakan hadits-hadits dha’if atau lemah untuk menyokong tujuan dan argumentasi mereka. Hadits yang lemah bisa mereka anggap shahih hanya karena selaras dengan akal dan keinginan mereka.
3. Gemar menggunakan istilah-istilah yang rancu dan samar tanpa menjelaskan definisinya seperti demokrasi, kebebasan dan kesetaraan, namun mereka tidak mendefinisikan secara jelas apa maksudnya. Bahayanya menggunakan istilah-istilah yang samar ini adalah, orang yang melemparkan kata atau konsep tersebut, berfikir bahwa mereka memaksudkannya dengan definisi yang diterima padahal kenyataannya tidak, sedangkan orang lain yang mendengarkannya bisa jadi mempercayai bahwa apa yang mereka utarakan itu benar adanya.
4. Tidak mau membawakan semua informasi yang relevan dan terkait dengan subyek. Mereka hanya membawakan bukti yang mendukung pemahaman mereka saja.
5. Memaksakan penafsiran mereka terhadap sebuah teks. Inilah yang dahulu dilakukan oleh kaum mu’tazilah, ketika mereka menyatakan bahwa akal lebih didahulukan daripada naql. Kaum modernis acap kali menyatakan Islam itu agama “rasional”. Ini tentu saja benar jika yang dimaksud bahwa segala sesuatunya dari Alloh tidak ada kontradiksi di dalamnya. Namun, jika yang dimaksud adalah kita dapat mempelajari segalanya di Islam dengan menilainya hanya dari akal kita aja, maka ini tidak dapat diterima. Kaum modernis juga sering kali mengatakan untuk mengikuti “ruh” Islam hanya untuk menghindar dari hukum syariat. Mereka menyatakan bahwa tidak apa-apa wanita tidak berhijab, yang penting ruhIslam masih dipegangnya di dalam hatinya. “Untuk apa berhijab fisik sedangkan hati tidak dihijabi?”, ini adalah propaganda kerdil yang sering dikatakan mereka, padahal Islam itu agama sempurna, mengatur masalah lahiriah dan batiniyah, masalah fisik dan hati.
6. Membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya bagi setiap orang. Padahal ijtihad ada perangkat dan syaratnya, dan tidak semua orang layak untuk berijtihad.
7. Senang mengikuti pendapat yang ganjil dan tertolak. Mereka tidak segan-segan mempelajari buku-buku para ulama hanya untuk mengambil pendapat-pendapat yang ganjil, bukannya mengambil pendapat-pendapat mayoritas ulama yang selaras dengan al-Qur’an dan sunnah.
8. Lebih condong mengikuti hawa nafsu di dalam memberikan hukum dan ‘fatwa’ tanpa ada dalil yang kuat. Tidak heran jika kita dapati mereka dengan mudah merubah hokum Islam yang sudah mapan dan jelas dalilnya. [diadaptasi dari Modernisme in Islam karya DR. Jamaludin Zarabozo].


Klaim pembaruan yang diusung kaum liberal mengarahkan konsentrasinya dalam studi al-Qur'an melalui interpretasi. Hermenutika sebagai teori dijadikan pisau pembedah bahkan pendekonstruksi syari'ah. Menurut mereka fiqih yang selama ini dipakai, dinilai sebagai faktor kemunduran dan keterbelakangan umat Islam saat ini.[2] Salah satu kritik terhadap fiqih adalah bahwa fiqih bersikap diskriminatif terhadap non Muslim. Diantaranya mengatakan, "Banyak konsep fiqih yang menempatkan penganut agama lain lebih rendah ketimbang umat Islam, sehingga berimplikasi meng-exclude atau mendiskreditkan mereka."[3] Sejumlah pemikir liberal muslim menilai bahwa proses pembaruan ini tidak bisa dilakukan selama perangkat teoritiknya, yaitu ushul fiqih tidak diperbaharui. Oleh karena itu pembaruan ushul fiqih menjadi agenda utama. Diantara mereka yang mengusung pembaruan ini adalah Hasan at-Turabi yang menilai bahwa ushul fiqih tidak relevan lagi untuk sekarang ini.[4] Kemudian ada Abdul Hamid Abu Sulayman yang mensinyalir beberapa kelemahan ushul fiqih klasik. Diantaranya textual dan linguistic oriented sehingga cenderung melupakan unsur historisitas teks, dimensi waktu dan tempat.[5]

Agenda dekonstruksi ushul fiqih ini merupakan salah satu program dari grand program liberalisai Islam di Indonesia. Sebagaimana yang dinyatakan Greg Barton bahwa program liberalisasi Islam di Indonesia meliputi empat hal yang meliputi pentingnya kontekstualisasi ijtihad, komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, penerimaan terhadap pluralisme agama, dan pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non sektarian negara.[6] Senada dengan itu, hasil penelitian dari salah seorang peneliti INSIST menyatakan program liberalisasi meliputi tiga hal, yakni liberalisasi dalam aqidah Islamiyyah- Pluralisme agama-, liberalisasi konsep wahyu –menggugat otentisitas mushaf Utsmani-, dan liberalisasi syaria't dan akhlak Islam.[7] Ternyata dalam realitas dan prakteknya, pemikir liberal Indonesia lebih liberal ketimbang pendahulunya, bahkan lebih liberal ketimbang Barat liberal.

Plagiatisasi terhadap pemikiran Barat yang membabi buta, telah membuat pencemaran nama baik Islam di panggung dunia. Secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak, meskipun dengan dalih pembaruan, mereka -cendekiawan liberal- telah merendahkan martabat kaum muslimin. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, tidaklah mensyaratkan peradaban Barat yang beradab, karena peradaban itu hakikatnya pemberontakan terhadap agama dan anti wahyu. Fazlur Rahman (1919-1988) asal Pakistan[8], pengajar di Universitas Chicago Amerika Serikat sebagai salah satu tokoh rujukan kaum liberal Indonesia telah mengingatkan akan kelemahan gerakan kaum modernis Muslim yang menyebabkan mereka gagal untuk membawa masyarakat kepada apa-apa yang mereka idamkan. Ia menjelaskan, "Isu-isu khusus yang dipilih kaum modernis pada dasarnya adalah isu-isu yang menjadi persoalan di dan bagi masyarakat di Barat. Meskipun kaum modernis tersebut jujur dalam mengadopsi persoalan tersebut, sikap ad-hoc (pilih bulu) mereka ini bagaimanapun juga telah meninggalkan kesan yang sangat kuat bahwa kaum modernis tersebut adalah mereka yang terbaratkan ataupun telah menjadi orang Barat."[9]

Tetapi realitanya, Rahman pun terjebak dalam kelemahan ini. Dalam praktiknya, dia terlibat aktif mengangkat isu-isu Barat. Teori double movement Rahman misalnya, merupakan salah satu bukti bagaimana ia merepresentasikan gaya Barat dalam melakukan liberalisasi pada syari'at Islam atas nama pembaruan.

Dalam mengaplikasikan teorinya tersebut, sebelumnya Rahman mempunyai pandangan yang perlu dicermati ketika mendengungkan pembaruan dalam Islam. Pandangannya terhadap pembaruan, dia sikapi dengan prinsip kesesuaian wahyu dengan realitas. Ia mengusulkan supaya pembaruan (reformasi/tajdid) mestilah kembali kepada al-Qur'an dan al-sunnah. Tetapi al-Qur'an yang ia pahami tidaklah seperti yang diyakini oleh kaum muslimin pada umumnya. Ia menyatakan bahwa al-Qur'an merupakan firman Allah yang pada dasarnya adalah satu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi manusia, dan bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti shalat, puasa, dan haji.[10] Dari awal hingga akhir menurutnya, al-Qur'an selalu memberikan penekanan pada semua aspek-aspek moral yang diperlukan bagi tindakan kreatif manusia. Oleh karenanya, kepentingan sentral al-Qur'an adalah manusia dan perbaikannya.[11]

Begitu pula dengan pandangannya terhadap sunnah Nabi saw., dimana pada intinya sunnah Nabi merupakan substansi perbaikan manusia. Oleh karena itu, menghidupkan al-sunnah adalah keniscayaan dalam melakukan pembaruan. Sunnah yang hidup adalah praktik aktual yang dilakukan umat Islam yang secara ideal bersumber dari teladan Nabi. Oleh karena itu, konsep ini bersifat dinamis dan berkembang sesuai tuntutan lingkungan dan masanya.[12] Dengan kata lain, sejumlah aturan-aturan hukum didalam al-Qur'an dan al-hadits tidak bersifat final dan berlaku untuk selamanya. Tetapi senantiasa berubah dengan landasan utama kesesuaiannya dengan alam realitas yang selalu berubah pula, baik waktu atau tempatnya.

Teori double movement Fazlur Rahman menjadi salah satu referensi muslim liberal Indonesia. Ia gunakan teorinya ini untuk memahami dan menginterpretasi al-Qur'an, khususnya hukum Islam.[13] Hubungan timbal balik antara wahyu ketuhanan (divine relation) yang suci dan sejarah kemanusiaan (human history) yang profane menjadi tema sentral. Gerak pertama dari teori ini adalah dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur'an, yakni upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami konteks mikro dan makro pada saat al-Qur'an diturunkan. Dengan pemahaman itu akan dapat melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih luas pada umumnya saat itu. Penelitian dan pemahaman tersebut, akhirnya menghasilkan rumusan narasi atau ajaran al-Qur'an yang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistemik serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat normatif. Sedang gerak kedua dari teori double movement adalah dari masa turunnya al-Qur'an kembali ke masa kini untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai sistematis dan umum dalam konteks pembaca al-Qur'an era kontemporer sekarang ini dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial modern dan humanitis kontemporer sebagai alat yang cukup baik untuk memberikan pemahaman yang baik pula tentang sejarah.[14]

Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu "ideal moral" dan ketentuan "legal spesifik" al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, dalam berbagai penjelasannya, Rahman mengusulkan agar dalam memahami pesan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang, sehingga al-Qur’an dapat dipahami dalam konteks yang tepat.[15] Aplikasi pendekatan kesejarahan ini telah membuat Rahman menekankan akan pentingnya tujuan atau ideal moral al-Qur’an dengan legal spesifiknya. Ideal moral yang dimaksud al-Qur’an lebih pantas untuk diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifik.[16] Dengan kata lain, dalam teorinya ini, ia melakukan tiga langkah dalam memahami dan menginterpretasi ayat-ayat ahkam, sebagaimana dijelaskan Birt dalam "The Message of Fazlur Rahman". Pertama, memahami dan memaknai pernyataan dengan melihat situasi sosio-historis pada saat pernyataan itu muncul. Kedua, membuat kesimpulan terhadap pernyataan tersebut dengan mengklasifikasikan aspek ideal moral dan legal formal yang spesifik. Ketiga, ideal moral yang didapatkan sebagai kesimpulan terhadap pemaknaan dan pemahaman pernyataan tersebut dibawa ke konteks sekarang sesuai dengan sosio-historisnya.[17]

Rahman berkeyakinan bahwa sebuah pemahaman dan ilmu pengetahuan tidaklah bersifat final, tetapi akan selalu berubah menyesuaikan dengan waktu yang relatif dinamis. Hal ini pun ditegaskan Wan Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya "The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas", bahwa Fazlur Rahman menggunakan pendekatan terbuka -yakni sekuler- terhadap isu mengenai validitas ilmu pengetahuan.[18] Terlihat dalam salah satu stetemen Fazlur Rahman, ia mengatakan,



"Adalah jelas bahwa sekali suatu penafsiran diterima, tidak seharusnya terus menerus diterima; disini selalu ada ruang dan keperluan akan penafsiran-penafsiran baru, dan ini merupakan proses yang berlangsung terus dalam kebenaran"[19]



Oleh karena itu, Fazlur Rahman menolak ide Islamisasi ilmu pengetahuan dengan alasan akan membelenggu intelektualitas, karena menurutnya keilmuan keislaman yang dipahami, berorientasi masa lalu. Ia mengajukan perlunya penggunaan intelek yang bebas dari dogma dan batas-batas kultural yang membelenggu.[20]

Hal ini dibantah oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menjelaskan bahwa penafsiran-penafsiran yang berkembang dan terjadi perubahan hanya terbatas untuk penafsiran aspek-aspek saintifik al-Qur'an dan fenomena alam. Menurutnya, ilmu pengetahuan adalah universal dalam hal kepastiannya dan bukan dalam hubungannya dengan pelbagai tingkatan keraguan atau prasangka, maka karena itu bersifat final. Ia tidak terbuka untuk di revisi oleh generasi sesudahnya, kecuali hanya untuk pembahasan dan pelaksanaan lebih lanjut. Ilmu pengetahuan mengenai masalah kepercayaan yang mendasar, seperti hakikat Tuhan, wahyu, agama, manusia takdirnya, masalah etika dan hukum-hukum mendasar seperti yang telah dtetapkan oleh al-Qur'an (muhkamät) dan hadits-hadits Nabi serta penjelasan-penjelasan ulama yang memiliki otoritas di bidangnya, tidak terbuka lagi untuk di revisi dan di koreksi lebih lanjut. Al-Attas menganggap dimensi saintifik al-Qur'an termasuk dalam kelompok mutasyäbihät dan karena itu terbuka untuk dapat ditafsirkan dan direvisi kembali berdasarkan makna-makna yang telah dijelaskan oleh sumber-sumber yang diwahyukan.[21]

Ada klaim, bahwa teori double movement Rahman sebagai kesinambungan antara peran akal dan teks pada periode kontemporer,[22] memunculkan wacana dan klaim bahwa teori ini sama dengan teori qiyas dalam hal memperlakukan teks agama, yaitu mengarahkan suatu pemikiran tentang substansi teks dengan menemukan rasio legis ('illat hukum) atau ideal moral.[23]

Hakikatnya jauh panggang dari api ketika teori double movement disamakan dengan qiyas. Konsep qiyas merupakan solusi yang dijadikan landasan pengambilan hukum (istibath al-ahkam) ketika sebuah kasus yang menuntut ketegasan hukum amali tidak didapatkan di dalam nash, baik al-Qur'an maupun al-hadits dan tidak ditemukan pula ijma' tentang penegasan hukum kasus tersebut dengan cara menemukan 'illat hukumnya yang sama dengan semangat kasus tersebut. Statemen ini seiring dengan penjelasan para ulama ushul seperti Abu Zahrah, Abdul Wahhab Khallaf, dan lain sebagainya dalam buku-bukunya yang menyatakan bahwa qiyas diartikan dengan menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nashnya tentang suatu hukum kepada perkara lain yang ada nash hukumnya, karena keduanya berserikat dalam 'illat hukum.[24] Sedangkan teori Rahman adalah teori yang mendekonstruksi qiyas itu sendiri dengan mendekonstruksi ayat-ayat hukum tersurat dan qath'i dalam nash yang berakibat perubahan hukum-hukum pasti (qath'i) dengan alasan ideal moral sebagai pijakan, bukan legal formal.

Dengan teorinya ini, Rahman bisa saja menganulir hukum tersurat dalam al-Qur'an yang qath'i. Karena yang menjadi pertimbangan utama teori ini adalah realitas dan sosio-historis, ketimbang syari'at tersurat yang disebutnya sebagai legal formal. Meskipun awalnya, ia berpegang kepada teks al-Qur'an yang dianggap sebagai ideal moral saja, tanpa keyakinan legal formal atau hukum tersurat menjadi landasan kemaslahatan, baik untuk dulu ataupun sekarang. Jadi, penjelasan finalitas hukum Islam yang digambarkan al-Qur'an dalam ayat-ayat hukum yang qath'i, sebagaimana termaksud dalam QS. [5]: 3, "..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.." dianggap sebagai bahan rujukan yang tidak mesti sama dalam prakteknya. Ketika berbicara Al-Qur'an sebagai landasan hukum, Rahman menyatakan bahwa hukum dalam al-Qur'an disesuaikan dengan situasi moral dan sosial arab waktu itu. Dia menyatakan, "Al-Qur'an adalah respon ilahi atas masa al-Qur'an, melalui pemikiran Nabi, terhadap situasi moral dan sosial nabi Arab, khususnya permasalahan komersial masyarakat Mekkah pada saat itu."[25]

Hal ini menggambarkan bagaimana Rahman menampilkan teori Hermeneutika yang diaplikasikan Gadamer, dalam upaya menjelaskan bagaimana cara tradisi intelektual muncul ke permukaan dan berkembang dalam sejarah.[26] Dalam pandangan Gadamer manusia tidak dapat dipisahkan dari sejarah serta tidak ada jarak antara dunia dan manusia. Efek kesadaran sejarah mengakibatkan kondisi yang non-objektifikasi, meskipun kondisi itu selalu mengiringi proses pemahaman.[27] Jika hermeneutika ontologis Gadamer diterapkan dalam teks, dalam hal ini al-Qur'an, khususnya dalam ayat-ayat ahkam mesti ditinjau dari tiga aktifitas eksistensi manusia, yakni subtilitas intellegendi yang berarti ketepatan memahami (understanding), subtilitas explicandi yang berarti ketepatan menjelaskan atau menguraikan makna tersirat menjadi makna tersurat, dan subtilitas applicandi yang berarti menerapkan atau mengaitkan makna suatu teks dengan situasi baru dan kini.[28]

Tetapi persamaan relatifitas pemahaman antara Rahman dan Gadamer merupakan satu sisi perhatian. Di lain pihak, bahkan yang menjadi penilaian dasar adalah adanya perbedaan diantara keduanya. Gadamer menyatakan bahwa pemahaman adalah kejadian yang bersifat linguistik, dialektikal, dan historis. Oleh karena itu, tujuan hermeneutika bukanlah untuk mengemukakan aturan-aturan pemahaman yang valid-objektif, namun untuk memahami "pemahaman" itu sendiri sekomprehensif mungkin.[29] Sementara Fazlur Rahman menolak adanya penegasian objektivitas karena menurutnya, pengetahuan yang objektif itu benar-benar ada.[30]

Berangkat dari keyakinan Rahman akan objektivitas pemahaman, maka teori hermeneutikanya cenderung meniru hermeneutika metodologis objektif Emilio Betti (1890-1968) yang sangat perhatian terhadap interpretasi yang objektif, bahkan dengan menggunakan teori yang sama, yakni double movement.[31] Dalam pandangan Betti, interpretasi merupakan sarana dalam memahami. Dalam kaitannya dengan itu, seperti ditegaskan Josef Bleicher dalam Contemporary Hermeneutics, Betti berkeyakinan bahwa interpretasi objektif akan membantu mengatasi kendala pemahaman, dan memberikan ketepatan kembali dari pikiran objektif yang ada pada subjek lain. Selanjutnya, pengetahuan yang relatif objektif mensyaratkan seorang penafsir untuk memasuki hubungan subjek-subjek dan pokok bahasan, misalnya teks yang akan ditafsirkan.[32] Dalam praktek interpretasi objektif dan pemahamannya, Betti memperhatikan empat aspek penting yang bersifat teoritis yang mesti ada dalam proses interpretasi. Pertama, aspek filologi, yakni rekonstruksi terhadap koherensi suatu ungkapan dari sisi gramatikal dan logika. Kedua, aspek kritik yang dihadapkan pada hal-hal yang perlu dipertanyakan seperti statemen yang tidak logis atau adanya gap dalam sekumpulan argumen yang muncul. Ketiga, aspek psikologis yang diberlakukan ketika interpreter meletakkan dirinya dalam diri pengarang, yakni ketika memahami dan menciptakan kembali personalitas dan posisi intelektual pengarang. Keempat, aspek morfologi teknis yang ditujukan kepada pemahaman isi (ideal moral) objektif dalam hubungannya dengan logika khusus dan prinsip-prinsip yang digunakannya. Dalam hal ini, objek dipandang apa adanya tanpa dikaitkan dengan sifat atau faktor-faktor eksternal.[33] Setelah keempat teori tersebut terlibat dalam proses penafsiran, maka terdapat tiga jenis penafsiran yang terjadi, yaitu rekognitif untuk memahami kembali pengetahuan pengarang ketika menjabarkan sebuah statemen yang ditulisnya yang dipengaruhi konteks sejarah, reproduksi untuk menghasilkan pengetahuan baru, dan aplikasi normatif untuk menerapkan pemahaman isi objektif dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar (ideal moral).

Dengan teori double movement Rahman sebagai aplikasi dari hermeneutika metodologis Emilio Betti akan berakibat perubahan bahkan dekonstruksi hukum ayat-ayat ahkam yang qath'i dalam al-Qur'an ataupun sunnah nabawiyyah. Perubahan tersebut senantiasa berlanjut mengiringi perbedaan waktu dan tempat sesuai dengan konteks sosio-historisnya yang berakibat terjadinya relatifitas penafsiran. Meskipun dengan metodologi keduanya yang dianggap sistematis, namun relatifitas interpretasi dan subjektifitas penafsir tidak dapat dihindarkan.

Relatifitas penafsiran yang menundukan nash di bawah "telunjuk" akal dan menempatkan akal potensial di bawah telunjuk realitas dan sosio-historis yang berujung pada kebenaran yang bias. Disinilah bagaimana Rahman terjerembab dalam pemikiran Barat yang mengagungkan akal dan mengesampingkan bahkan menegasikan wahyu. Misalnya dalam "ijtihad"nya, dia menyatakan bahwa poligami itu terlarang, meskipun ia mengakui adanya eksistensi dan legalisasi poligami dalam al-Qur'an dalam QS. [4]: 3. Tetapi ia beralasan bahwa ayat tersebut telah di nasakh QS [4]: 129, terlebih lagi bahwa adanya poligami hanya pada zaman awal Islam, dimana struktur sosial Arab tentang kebiasaan hidup berpoligami, tetapi ideal moralnya adalah monogami. Ketika ditarik pada masa sekarang, ayat itu pun dengan sendirinya ternegasikan dengan kondisi realitas sosial. Padahal kalau ia jujur, realitas yang terjadi di tataran sosial sekarang, ketika meruaknya kasus perselingkuhan dan perzinahan ditambah sensus laki-laki dan perempuan yang lumayan tinggi perbandingan kuantitasnya, poligami bisa dijadikan solusi sesuai perspektif ideal moralnya.

Contoh kasus lainnya yang dia angkat dalam interpretasi kritik sosio-historisnya misalnya ketika menafsirkan ayat tentang hukuman bagi pencuri yang tersurat dalam al-Qur'an dengan hadd potong tangan. Ayat ini termaktub dalam QS. [5]: 38,



"Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana"



Menurut Rahman, kata faqtha'u aidiyahuma (potonglah tangan keduanya) sebagai bentuk perintah untuk menghalangi tangan-tangan pencuri melalui perbaikan ekonomi. Dengan demikian, yang menjadi ideal moral dalam kasus ini adalah memotong kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi. Bahkan ketika Rahman berkunjung ke Indonesia dan diwawancarai majalah Tempo, ia mengatakan, "sangat mengerikan (potong tangan), ia merupakan tradisi yang lahir di Arab Saudi sebelum adanya Islam. Jadi bukan hukum Islam."[34]

Interpretasi tersebut menegasikan hukum tersurat dan menyalahi hadits, para ulama tafsir, baik dari sahabat, tabi'in, dan seterusnya. Karena kata aidiyahuma dalam ayat tersebut adalah hakiki bukanlah majazi (kiasan) yang bisa diganti dengan makna lain. Ibn Jarir al-Thabary meriwayatkan dari Abdul Mukmin dari Najdah al-Hanafi, beliau bertanya kepada Ibn Abbas tentang ayat hukum potong tangan ini, 'Apakah ayat itu bersifat umum atau khusus? Ia menjawab bahwa ayat tersebut bersifat umum. Dengan kata lain ayat tersebut berlaku bukan hanya untuk masyarakat Arab abad ke-7 Masehi saja.[35] Walaupun memang hukum potong tangan telah ada sebelum Islam datang, tetapi hal ini dipertahankan dalam Islam dengan pada masa Islam dengan menambah beberapa pertimbangan dan syarat yang ketat, termasuk ukuran minimal harta curian dan motif pencurian tersebut.[36] Jadi dalam hukum Islam tidak semua pencuri di potong tangan, apalagi kalau mencuri untuk sekedar mempertahankan hidup.

Sebagaimana pendahulunya Fazlur Rahman dengan teori double movement (gerak ganda), Nurcholis Madjid, salah seorang pelopor Islam liberal Indonesia menyerukan pembaruan pemikiran Islam dengan menyatakan, "(untuk)..memberi respon kepada tantangan zaman, harus terlebih dahulu kita menangkap isi pesan dalam kitab suci. Karena (seperti dikatakan)..Fazlur Rahman, kita memiliki kriteria tertentu untuk melangkah, dan kriteria itu dengan sendirinya harus bersumber dari al-Qur'an. Selanjutnya dia katakan, pertama-tama kita harus menilai tradisi kita sendiri, benar dan salahnya, kemudian kita harus menilai tradisi Barat."[37] Pelopor Islam Liberal ini bermaksud melakukan pembaruan dengan menangkap kemajuan Barat yang rasional dan anti wahyu sebagai alat untuk merubah tradisi Islam, yang selama ini dianggapnya beku. Padahal dengan sikapnya tersebut, disadari atau tidak, dia telah melakukan westernisasi (pembaratan) pemikiran dalam dunia Islam.

Diantara pemikir liberal lainnya menyatakan pujian terhadap sosok Nurcholis Madjid yang diklaim sebagai pelopor pembaruan Islam di Indonesia itu, "bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan 'tradisi' (turats) dalam bingkai analisis yang kritis dan sistematis. Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-Qur'an; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya. Maka hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syari'ah atau fiqih dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman."[38]

Padahal hakikatnya, Nurcholis Madjid sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman yang yang menggunakan metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Qur'an.[39] Dari pembuntutan metodologi dari proyek westernisasi ini, lahirlah dari buah pemikirannya buku Fiqih Lintas Agama yang memberikan hukum baru dalam pemahaman mengenai perkawinan beda agama, do'a bersama, mengucapkan salam kepada non-Muslim, menghadiri dan mengucapkan selamat natal, dan persoalan-persoalan yang terkait langsung dengan hubungan umat Islam dengan umat agama-agama lain. Westernisasi melalui hermeneutika dapat dibuktikan dari pernyataan penggagas lain dari munculnya buku ini yang memberi argumentasi bahwa peluncuran 'ijtihad' baru dalam bidang fiqih ini dilandasi realitas sosial yang terjadi, dimana telah terjadinya perkawinan agama, pengucapan selamat natal, do'a bersama, dan lain-lain. Ia mengatakan,



"Tema-tema itu tidak datang dengan sendirinya. Kita mengambilnya dari realitas sosial yang terjadi di masyarakat kita sehari-hari. Kita sering menyaksikan -misalnya- para pejabat yang menghadiri peringatan natal dan mengucapkan selamat natal. Pembawa acara televisi pun umumnya tak sungkan mengucapkan selamat natal. Kita secara ringan saja mengucapkan salam kepada non-muslim, atau ada juga yang melakukan perkawinan agama. Nah, semua itu merupakan persoalan-persoalan yang real di masyarakat. Tapi sayangnya, belum ada fiqih yang membicarakan persoalan tersebut secara agak tuntas." Nah, ada persoalan-persoalan lain seperti do'a bersama, yang juga perlu dibahas. Saya tidak tahu, apakah pada zaman Nabi dulu, do'a bersama punya preseden atau tidak. Sekarang praktik itu sering dilakukan orang. Kalau kita lihat, yang melakukan itu justru tokoh-tokoh dari semua agama. Itu persoalan real. Perlu ada jawaban konkret."[40]



Maka jelaslah, yang berlaku sebenarnya bukan landasan hukum Islam berdasar al-Qur'an dan as-Sunnah, tetapi realitaslah yang dijadikan pijakan hukum. Rasionalisasi pun jadi bias, karena pada intinya bukan pengoptimalan akal untuk membuat solusi permasalahan masyarakat, tetapi akal dipaksa untuk membenarkan realitas dengan mencari pembenaran dari nash. Metodologi yang ditawarkan kelihatan begitu meyakinkan, hanya karena ditawarkan oleh orang-orang berpendidikan dengan bahasa intelektual. Padahal dibalik itu semua, terkandung kepentingan dekonstruksi syari'at yang menyebabkan runtuhnya eksistensi ajaran tauhid Islam.


Jadi para pengusung neo-modernisme ini dalam gerakannya sangat terkait dengan isu sekularisme, pluralism, liberalism, feminism dan hermeneutika.

SEKULARISME—istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906)—masing-masing agama dan negara memiliki otoritas sendiri-sendiri: negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja.[1] Jadi, sekularisme intinya adalah pemisahan agama dari kehidupan.
Dari akidah ini lahir ide liberalisme/kebebasan (kebebasan beragama [freedom of bilief]; kebebasan berpendapat [freedom of opinion]; kebebasan kepemilikan [freedom of awnership]; dan kebebasan berperilaku/berekspresi [personal freedom]), pluralisme, relativitas kebenaran, dan sebagainya. Akidah ini juga memberikan landasan pada demokrasi dan sistem Kapitalisme.

Bahaya yang di timbulkan dari sekularisme terhadap dunia islam sangat banyak diantaranya:
•         Diputarbalikannya hakikat Islam, Al-qur'an dan Rasulullah
•         Menganggap bahwa Islam hanyalah berupa upacara – upacara keagamaan dan ritual belaka
•         Bahwa Islam tidak sesuai dengan peradaban dan hanya akan mengakibatkan kemunduran
•         Segala system dan aliran sekuler barat ditransfer untuk di masukan ke dunia Islam
•         Apabia ada suatu alasan tentang keberadaan sekularisme di barat, maka tak satupun alasan bagi timur untuk menolak sekularisme.[16]
            Selain bahaya yang telah disebutkan diatas, masih banyak bahaya sekularisme yang lainnya diantaranya yaitu sebagai berikut:
•         Menghalangi campur tangabn Tuhan (agama) dalam persoalan duniawi
•         Aspek kehidupan, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya tidak perlu didasarkan pada agama
•         Negara tidak usah mengurus agama, karena agama urusan pribadi.[17]

Sedangkan PLURALISME adalah memandang bahwa semua agama itu adalah sama, sama-sama mengajarkan kebaikan, sama-sama menyembah Tuhan dan sama-sama mengajarkan abagaimana menjadi penganut yang taat. Padahal, ada bebereapa hal yang bsia dikritisi dari konsep pluralism agama yang dipaksakan ke Islam oleh kaum modernis ini:

1. Secara Fitrah
Pluralisme sama sekali bertentangan dengan realitas agama itu sendiri. Apakah sama keyakinan muslim yang menjadikan Alloh saja sebagai Tuhan dengan keyakinan seorang katolik yang menyatakan bahwa ada Tuhan selain Alloh yang berwujud manusia seperti halnya Isa bin Maryam atau yang sering disebut Yesus? Penyamarataan agama adalah bentuk pemaksaan terhadap sesuatu yang jelas-jelas tidak sesuai dengan fitrah akal dan kepuasan batin manusia.

2. Secara Historis
paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik. Peristiwa mengerikan semacam inlah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation), tak ada keselamatan di luar gereja. Lalu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historis yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimpor dari setting sosio historis kaum Kristen di Eropa dan AS.

3. Secara Normatif
Pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islamiyah. Sebab pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Jadi, Islam benar, Kristen benar, Yahudi benar, dan semua agama apa pun juga adalah sama-sama benar. Dalam mengajarkan gagasan ini mereka sering mengumpamakan agama dengan tiga orang buta yang menjelaskan tentang bentuk gajah. Ketiga orang buta itu diminta untuk memegang gajah, ada yang memegang telinganya, ada yang memegang kakinya, dan ada yang memegang belalainya. Setelah mereka semua memegang gajah, lalu mereka bercerita satu sama lain; yang memegang belalai mengatakan bahwa gajah itu seperti pipa, yang memegang telinganya berkata bahwa gajah seperti kipas yang lebar dan kaku. Yang memegang kaki mengatakan bahwa gajah seperti pohon besar yang kokoh. Begitulah agama menurut mereka, semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda.
Bagi para penggiat pluralisme dari kalangan kaum muslimin mereka pun menyitir ayat-ayat yang mengandung gagasan pluralisme. Di antaranya adalah; “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); (al-Baqarah:256)
“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah:62).
Bantahan atas Argumen Pluralisme
Dengan kemampuan mereka memahami bahasa Arab yang cukup baik, mereka suka memelintir makna ayat sehingga kaum intelektual-awam agama percaya kepada mereka. Mari kita perhatikan ayat 256 surat al-Baqarah; Mereka menganggap tidak ada paksaan dalam beragama berarti pengakuan agama lain. Pemahaman demikian tidaklah benar. Ayat tersebut harus difahami secara utuh. Lanjutan ayat tersebut adalah, “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
JAdi tidak ada paksaan dalam menganut agama karena telah jelas mana yang benar dan mana yang salah, dan islam adalah satu-satunya agaman yang benar. Masing-masing manusia bebas memilih tapi harus siap menanggung resiko sendiri-sendiri. Disinilah kaum pluralis memaksakan pemahamannya dengan memotong ayat tidak pada tempatnya sehingga seolah-olah membenarkan argument mereka.
Jika kita lihat ayat 62 surat al-Baqarah, sekilas memang ayat ini menjelaskan bahwa orang Yahudi jika tetap beriman dan beramal shaleh akan masuk sorga. Orang Nasrani, orang Shabi’in, selama tetap beriman dan beramal shaleh ia akan masuk sorga.
Dalam memahami suatu ayat, para ulama’ telah menganjurkan agar menggunakan riwayat turunnya ayat, yang disebut dengan asbab nuzul. Adapun asbab nuzulnya sayat ini adalah; Salman al-Farisi; tatkala ia menceritakan kepada Nabi saw kebaikan-kebaikan guru-gurunya dari golongan Nasrani dan Yahudi. Tatkala Salman selesai memuji para shahabatnya, Nabi saw bersabda, “Ya Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka.” Selanjutnya, Allah swt menurunkan ayat ini. Lalu hal ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi; yaitu, siapa saja yang berpegang teguh terhadap Taurat, serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as (maka ia selamat). Ketika Isa as telah diangkat menjadi Nabi, maka siapa saja yang tetap berpegang teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk agama Isa as, dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Demikian pula orang Nashraniy. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Injil dan syariatnya Isa as hingga datangnya Mohammad saw, maka ia adalah orang Mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun, setelah Mohammad saw datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Mohammad saw, dan tetap beribadah seperti perilakunya Isa as dan Injil, maka ia akan mengalami kebinasaan.”

Mengapa dan ada apa dengan ‘Hermeneutika’?

Setelah ditelusuri, ternyata filsafat pemahaman teks ala Barat inilah yang menjadi “alat buldoser” paling efektif yang berada di belakang upaya sekularisasi dan liberalisasi pemahaman Al-Qur’an yang terjadi secara massif.

Di tangan para pengasong sekularisme dan liberalisme, metode hermeneutika untuk mengkaji Al-Qur’an ini ingin menggusur dan mengkooptasi ajaran-ajaran Islam yang baku dan permanen (tsawabit), agar compatible dengan pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai modernitas Barat sekuler yang ingin disemaikan ke tengah-tengah umat Islam.

Tema ini telah menarik perhatian penulis semenjak digelindingkannya suatu upaya sistematis untuk meliberalkan kurikulum ‘Islamic Studies’ di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Semenjak langkah strategis itu diluncurkan di era kepemimpinan Munawir Syadzali di Departemen Agama dan Harun Nasution di IAIN Jakarta tahun 1980-an, sederet nama para penganjur dan pengaplikasi hermeneutika untuk studi Islam tiba-tiba menjadi super stars dalam kajian Islam di Perguruan Tinggi Islam Indonesia.

Sebut saja misalnya: Hassan Hanafi (hermeneutika-fenomenologi), Nasr Hamid Abu Zayd (hermeneutika sastra kritis), Mohammad Arkoun (hermeneutika-antropologi nalar Islam), Fazlur Rahman (hermeneutika double movement), Fatima Mernissi-Riffat Hassan-Amina A. Wadud (hermeneutika gender), Muhammad Syahrur (hermeneutika linguistik fiqih perempuan), dan lain-lain yang cukup sukses membius mahasiswa dan para dosen di lingkungan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia baik negeri maupun swasta, hingga kini.

Bahkan beberapa tahun silam dengan munculnya Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam oleh Tim Pengarusutamaan Gender Depag RI, yang merombak dan melucuti banyak hal aspek-aspek yang qath’i dalam sistem hukum Islam, meski telah ditolak dan digagalkan, telah mengindikasikan suatu upaya serius untuk menjadikan produk tafsir hukum ala hermeneutika ini sebagai produk hukum Islam positif yang mengikat seluruh umat Islam di tanah air.

Itulah salah satu dampak terburuk dari tafsir model hermeneutika ini yang berkaitan dengan hajat hidup umat Islam Indonesia dalam soal pernikahan, perceraian, pembagian harta waris, dan lain-lain.

Hermeneutika itu apaan sih?

Mungkin banyak umat yang belum faham maksudnya, sehingga tidak ‘melek’ akan bahayanya jika diterapkan untuk Al-Qur’an. Membaca dan memahami kitab suci dengan cara menundukkannya dalam ruang SEJARAH, BAHASA dan BUDAYA yang terbatas, adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat sekuler yang tidak sejalan dengan konsep tafsir atau takwil dalam khazanah Islam.

Metode hermeneutik ini secara ‘ijma’ oleh kelompok liberal di Indonesia bahkan di dunia ditahbiskan sebagai metode baku dalam memahami ajaran Islam baik dalam Qur’an maupun Sunnah.

Dalam buku yang ditulis tokoh Paramadina untuk mengenang 40 tahun pidato pembaruan Cak Nur disebutkan, “Islam ingin ditafsirkan dan dihadirkan secara liberal-progresif dengan metode ‘HERMENEUTIK’, yakni metode penafsiran dan interpretasi terhadap teks, konteks dan realitas.

Pilihan terhadap metode ini merupakan pilihan sadar yang secara instrinsik built-in di kalangan Islam Liberal sebagai metode untuk membantu usaha penafsiran dan interpretasi.“ (Budhi Munawar Rachman: Reorientasi Pembaruan Islam, hlm. 388)

Selain itu, penggunaan hermeneutika untuk menafsirkan Qur’an ini berangkat dari dekonstruksi konsep wahyu yang diistilahkan TANZIL oleh Al-Qur’an (Fusshilat: 42; As-Syu’ara: 192-195). Menurut Prof. M. Naquib Al-Attas, pendiri ISTAC Malaysia, konsep TANZIL itu memiliki 2 kekhasan yang tak dapat dicari tandingannya dalam konsep kitab suci manapun dalam agama lain.

Kedua ciri khas itu adalah, wahyu Islam diperuntukkan untuk umat manusia secara keseluruhan (tanpa membedakan waktu dan tempat) dan hukum-hukum suci yang terkandung dalam wahyu itu tidak memerlukan ‘pengembangan’ lebih lanjut dalam agama itu sendiri. (SMN. Al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993, hlm 31-32).

Bertolak belakang dengan konsep TANZIL itu, kaum liberal malah memuji konsep wahyu dalam pengertian Kristen yg dikemukakan oleh L.S. Thornton sebagai “a made of divine activity by wich the Creator communicates himself to man and, by so doing, evokes man’sresponse and cooperation”. (sebuah aktifitas ketuhanan yang mana Pencipta mengkomunikasikan kehendaknya kepada manusia, yang menyulut dan akhirnya melibatkan respon dan kerjasama manusia dalam proses pewahyuan itu, lihat Montgomery Watt dalam Islamic Revelation in the Modern World, hlm. 6).

Konsep wahyu ala Kristen ini lah yang ingin mereka paksakan untuk memahami ulang konsep Al-Qur’an (Ulil Absar dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, Jakarta: Gramedia, hlm.57).

Dari konsep wahyu Al-Qur’an yang disamakan dengan Kristen ini, maka kaum liberal mengajukan modifikasi metode tafsir agar sesuai dengan zaman sekarang. “Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat-ayat ‘uqubat, hudud, qishash, waris dsb.

Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan problem-problem kemanusiaan, yang terjadi bisa-bisa merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih” (Metodologi Studi Al-Qur’an, hlm.166-167). Di bagian lain buku itu dengan lugasnya Ulil dkk menyatakan bahwa, “Ayat-ayat semacam itu disebut fiqih (?!) Al-Qur’an.

Sebagai sebuah fiqih, ayat-ayat itu sepenuhnya merupakan respon Al-Qur’an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tersebut bersifat relatif dan tentatif sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan & penyulingan.

Membiarkan fiqih Al-Qur’an sama persis dengan bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan Al-Qur’an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital Al-Qur’an” (Metodologi Studi Al-Qur’an, hlm.167) Dewasa ini, gagasan dan tuntutan untuk melakukan pembacaan sekaligus pemaknaan ulang teks-teks primer agama Islam disuarakan dengan lantang.

Tujuannya adalah agar teks-teks primer Islam, yang telah menjadi pedoman dan panduan lebih dari 1 milyar umat Islam, dapat ditundukkan untuk mengikuti irama nilai-nilai modernitas sekuler yang didiktekan dalam berbagai bidang. Seruan itu disuarakan serempak oleh para pemikir modernis muslim baik di Timur-Tengah maupun di belahan lain dunia Islam, termasuk Indonesia.

Berbagai seminar, workshop dan penerbitan buku hasil kajian dan penelitian digiatkan secara efektif untuk mengkampanyekan betapa mendesaknya “pembacaan kritis” dan “pemaknaan baru” teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Berbagai produk olahan isu-isu pemikiran yang diimpor dari Barat seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, dan
pengarusutamaan gender telah menjadi menu sajian yang lezat untuk dihidangkan kepada komunitas muslim.

Kita patut curiga dan bertanya: apakah tidak sebaiknya upaya pembacaan dan pemaknaan ulang wacana agama itu diarahkan sebagai pembaruan metode dakwah Islam dan revitalisasi sarana-sarana pendukungnya di era kontemporer ini, sesuai dengan perkembangan zaman?

Kita sangat memerlukan pemikiran segar dan cemerlang untuk mendakwahkan prinsip-prinsip dan pandangan hidup Islam dengan metode yang cocok dengan kemajuan zaman. Jika ini yang terjadi, maka kita dengan senang hati menyambut seruan itu.

Namun jika yang terjadi adalah mengkaji ulang bahkan sampai pada taraf mengubah prinsip dan pokok-pokok agama dengan dalih keluar dari kungkungan ideologis nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah, membatalkan absolusitas nash Al-Qur’an dengan analisa historisitas teks atau relativisme teks, juga di bagian lain ingin melakukan studi kritik literatur dan sejarah seperti yang dipraktekkan kalangan liberal Yahudi dan Kristen atas Bible sejak 3 abad silam, atau bahkan dengan memunculkan pandangan bahwa nash Al-Qur’an dan Sunnah telah out of date dan hanya menghalangi proses integrasi umat Islam dengan nilai-nilai globalisasi kontemporer.

Jika benar ini yang terjadi di lapangan pemikiran, maka logika semacam ini ditolak mentah-mentah, baik keseluruhan maupun rinciannya.Terdapat sekian banyak bahaya tersembunyi di balik seruan di atas. Yang penting di antaranya berujung kepada pelumeran dan peluruhan inti dan pokok dinul Islam serta melarikan diri dari kewajiban-kewajibannya.

Padahal salah satu tujuan Islam yang mulia adalah terbentuknya umat yang kokoh kuat dalam setiap segi kehidupannya, terutama dalam bidang pandangan hidup yang pasti, barometer akidah, syariah, dan akhlaq yang jelas dan tidak tergerus oleh perubahan zaman yang silih berganti.

Beberapa faktor diatas itulah yang telah mendorong penulis untuk mengkaji dasar dasarnya, menelusuri akar sejarah hermeneutika hingga diterapkan untuk mengganti metodologi tafsir dan takwil Al-Qur’an yang khas dalam tradisi keilmuan Islam. Selain tentu saja menilisik isu-isu paling mendasar dan krusial secara analitis-kritis di dalam buku ini.

Penulis juga memandang suatu agenda yang mendesak di kalangan cendekiawan muslim, agar mengkaji secara kritis asal-usul dan perkembangan metodologi pemahaman terhadap sumber-sumber agama Islam yang kini dipaksakan oleh Barat untuk suatu proyek hegemoni dan kolonialisme pemikiran di dunia Islam.

Imbasnya tentu saja akan merasuki pendidikan tinggi Islam, sebagai center of exellence, yang diproyeksikan untuk melahirkan sarjana-sarjana agama Islam, namun minus kebanggaan dan penguasaan terhadap perbendaharaan intelektual yang telah mengakar sepanjang kurun perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban.

Memang di lingkungan Universitas al-Azhar Mesir, sebagai kiblat ilmu-ilmu keislaman di dunia, tradisi tahkik (studi editing-filologi naskah klasik) dan penelitian tentang studi kritik tafsir Al-Qur’an (ad-Dakhil fi al-Tafsir) -terutama naskah-naskah tafsir klasik yang tak jarang terdapat dampak Israiliyyat dan pendapat-pendapat aneh yang menyalahi kode etik ilmiah, kebahasaan, maupun riwayat hadis dha’if dan palsu-, telah tumbuh subur dan mengesankan.

Namun penelitian tentang tantangan-tantangan keilmuan Barat kontemporer terhadap khazanah tafsir Al-Qur’an dan juga metodologi studi Al-Qur’an yang kini gencar diupayakan berorientasi sekuler-liberal, belum banyak yang melakukannya. Harapan penulis, buku ini dapat memenuhi hasrat keilmuan tersebut dan mampu menjadi karya pionir untuk menjawab tantangan paradigma sekuler-liberal dalam kajian-kajian Al-Qur’an.


Kiri Islam HASAN HANAFI
Semula, “kiri Islam” adalah nama sebuah jurnal berkala yang diterbitkan Hanafi pada tahun 1981, nama lengkap jurnalnya adalah Al-Yasar Al-Islami ; Kitabat fi al-Islamiyah (Kiri Islam ; Essai tentang kebangkitan Islam). Dalam jurnalnya ini, Hanafi menjelaskan bahwa dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (tauhid), dan kesatuan umat, diperlukan tiga pilar sebagai penopang Kiri Islam, Pilar pertama, adalah revitalisasi dan rasionalisasi khazanah islam klasik (al-Turots). Pilar kedua, adalah perlunya menantang peradaban Barat. Hanafi memperingatkan bahaya imperialisme kultural Barat dan mengusulkan oksidentalisme sebagai tandingan terhadap orientalisme guna mengakhiri mitos peradaban Barat. Sedangkan pilar ketiga adalah analisa terhadap realitas dunia Islam. Menurut Hanafi, dua hal yang menjadi ancaman dunia Islam kini adalah, dari luar Islam sendiri, yaitu Imperialisme, Zionisme dan Kapitalisme. Sedangkan ancaman dari dalam Islam adalah kemiskinan, ketertindasan, dan kerterbelakangan. Dan inilah yang menjadi fokus perhatian dari Kiri Islam, yang pada akhirnya kemudian menjadi trade mark pemikiran Hasan Hanafi.

Bagi Hanafi, “kiri” memiliki konotasi ilmiah. Penggunaan istilah “kiri” oleh Hanafi lebih mencerminkan sebuah realita dalam masyarakat muslim yang terbelah menjadi dua bagian, yaitu antara penguasa dan rakyat, si kaya dan si miskin, yang memiliki dua kepentingan yang sangat berseberangan. Bagi Hanafi, kelompok kiri Islam adalah representasi[4] dari kaum tertindas, dikuasai, miskin, dan termarjinalkan.
Kiri Islam lahir setelah berbagai metode pembaharuan masyarakat kita dalam beberapa generasi hanya menghasilkan keberhasilan yang relatif, bahkan untuk sebagiannya gagal terutama dalam mengentaskan masalah keterbelakangan. Hal ini disebabkan karena pertama, berbagai tendensi[5] keagamaan yang terkooptasi[6] kekuasaan menjadi Islam hanya sekedari ritus dan kepercayaan ukhrawi. Kedua, Liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi yang terakhir, hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara. Sementara mayoritas rakyat ditempatkan di luar lapangan permainan yang  hanya ada dalam kerja-kerja revolusi. Ketiga, Marxisme yang mewujudkan keadilan sosial dan menentang Kolonialisme, ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan Nasional. Keempat, Nasionalisme Revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama, banyak mengandung kontradiksi dan mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat. Kiri Islam lahir dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakanan Nasional dan prinsip-prinsip Revolusi Sosialis

KRITIK NALAR ISLAM: ARKOUN
Kritik-kritiknya
Sebagai seorang pemikir post-modern16, Arkoun adalah pengkritik tradisi kemapanan, tradisi objektivisme dan positivisme yang menurutnya tidak hanya merasuki ilmu pengetahuan Islam, namun juga Barat dan orientalis Barat. Arkoun berargumen bahwa paradigma orientalis benar-benar menyokong konsepsi ortodoks tentang “nalar Islam”17 dengan menggunakan kategori-kategori yang sama, simbol-simbol yang sama dan signifikansi yang sama.18 Dan demi menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).19 Mengikuti analisis semiotik, Arkoun menekankan bahwa teks yang ada di tengah-tengah kita adalah hasil tindakan pengujaran (enonciation). Dengan kata lain, teks ini berasal dari bahasa lisan yang kemudian ditranskripsi ke dalam bentuk teks. Tidak terkecuali teks-teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diterima dan disampaikan nabi Muhammad saw kepada umat manusia selama tidak kurang dari dua dasawarsa. Akan tetapi, wahyu dalam bentuk bahasa lisan ini kemudian dibukukan setelah memasuki masa Utsman, sekitar satu setengah periode setelah nabi Muhammad saw. wafat.

Jauh sebelum Arkoun, karya ulama yang menjelaskan sejarah transmisi dan kodifikasi Al-Quran sebenarnya telah banyak memberikan informasi mengenai penulisan dan pembakuan wahyu menjadi mushaf Utsmani ini. Hanya saja, Arkoun melihat bahwa informasi-informasi tersebut belum dipertimbangkan secara serius bagi penjelajahan makna Al-Qur’an.20 Baginya, lantaran Assyafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu serta pembakuan al-Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman) menjadi awal ummat Islam didominasi oleh logosentrisme, dimana fuqaha dan ulama percaya bahwa mereka mampu menggenggam dan menguasai kebenaran wahyu dengan sarana analisis naskah secara gramatikal dan leksikal, dengan asumsi bahwa bahasa pada dasarnya merupakan refleksi dari dunia. Arkoun menganggap Islam sebagai fakta fenomena yang berkembang secara historis, terlepas dari upaya para alim-ulama baik qudama (klasik) maupun modern untuk memahami dan menetapkan makna kebenaran yang disampaikan oleh wahyu.21

Menurutnya kesalahan para fuqaha dan ulama terletak pada keyakinan mereka bahwa pengetahuan bahasa membuat mereka mampu memahami naskah, sedangkan mereka sendiri mengabaikan kebenaran yang lebih hakiki mengenai kesejarahan dari bahasa itu sendiri. Menurutnya, nalar Islam yang dibangun oleh para alim ulama adalah atas interpretasi doktriner dan kebutuhan politis untuk mengontrol penafsiran atas wahyu dan maknanya.22 Hal inilah yang menurutnya menyebabkan kemunduran filsafat Islam dan terbangunnya cloture logocentrique yang dengannya pemahaman alternatif selain dari wahyu menjadi kemustahilan.23 Arkoun menegaskan bahwa semua yang memiliki otoritas keilmuan sebagai penentu sifat utama kebenaran, pemikiran atau kebajikan semestinya dikenai kritik intelektual, berdasarkan asumsi strukturalis tentunya.24 Dengan
begitu, ia akan leluasa melontarkan kritik strukturalis multidisipliner terhadap dominasi serta kemapanan otoritas alim ulama disetiap institusi-institusi maupun pemerintahan Muslim, baik yang klasik maupun modern.

Berangkat dari asumsi di atas, Arkoun memandang bahwa nalar bersifat inklusif dan tidak tunggal –dan yang dimaksud bukanlah nalar aktif-potensial atau bakat intelektual (al-Mukawwin/la raison constituante), melainkan nalar bentukan dan didikan yang berisi doktrin-doktrin pengetahuan (al-Mukawwan/la raison constituee), jika meminjam teori A Lalande25. Ia (nalar Islam), yang terbingkai frame sejarah, akan mengayun dan melandaskan diri ke mana hendak dibawa sehingga menjadi suatu entitas yang membentuk dan meng-ada. Karenanya ia bersifat historik, multi kultural dan (bahkan) sejarah itu sendiri.26 Nalar Islam tak lain merupakan piranti yang menghasilkan produk-produk pengetahuan Islam dalam bentangan panjang sejarah. Ia diartikan sebagai diskursus atau wacana nalar Islam yang darinya, menghasilkan ragam disiplin keilmuan Islam.27

Maka, dikenallah nalar Taswauf, nalar Sunni, nalar Muktazilah, nalar Syi’ah, nalar Hasan Bashri, nalar Ibn Khaldun, nalar Muhamad Abduh dan seterusnya hingga kini. Itulah nalar-nalar Islam, dengan segenap identitas dan ciri khasnya masing-masing, karena pada dasarnya merujuk pada pokok dan otoritas yang sama: al-Qur’an dan Hadits. Namun, yang perlu dijadikan entry point, nalar tersebut mempunyai titik tolak dalam sejumlah kognitas dasar dan kepentingan-kepentingan tertentu yang membentuknya.

Secara historik, nalar-nalar tersebut kerap bersaing, berseteru, dan bahkan bermusuhan yang berujung pada kematian/kehancuran. Hal yang paling mendasar, bahwa dalam kemajemukan nalar tersebut, sesungguhnya memiliki titik konvergensi dan persenyawaan yang oleh Arkoun, disederhanakan sebagai terma nalar Islam. Singkatnya, ia sengaja membredel nalar di atas menuju “ruang kematian” dengan cara mendekonstruksinya
menjadi nalar Tunggal (Binyah al-Muwahadah), yakni: nalar Islam. “Kematian” di sini tentunya diartikulasikan dengan pembacaan kini, dengan pemaknaan ala Derrida, yakni suatu pengalihan posisi tawar dari alam klasik menuju alam kontemporer.28

Demi menuju ke arah kesadaran ini, Arkoun melakukan analisa kritik historis atau klarifikasi historitas dengan membagi sejarah nalar Islam menjadi empat periodesasi.29
 1. Era fundamentalitas Islam, yaitu periode kenabian ini ditandai dengan terbukanya wacana-wacana pembakuan keagamaan yang baru lahir dan sedang mencari jati dirinya, baik dalam ranah sosial maupun politik. Ditandainya dengan terbukanya kebebasan serta penghormatan tinggi terhadap cita kemaslahatan dan humanisme. Di samping gerak perubahan sejarah yang dinamis, progresif, dan gradual.
 2. Era jati diri nalar Islam klasik, Yang ditandai pembasisan, pembakuan, dan pembukuan disiplin ilmu pengetahuan, terutama lini syariah dan teologi. Era nalar Islam klasik ini dimulai sejak pertengahan abad pertama sampai penghujung abad keempat. Pada era ini kecenderungan dialektik antara agama dan nalar masih menguat dibanding kecenderungan ortodoksi.Yang paling mengesankan bagi Arkoun pribadi, periode ini melahirkan filsafat humanisme di tangan Miskawyh dan Abu Hayan al-Tawhidi. Keduanya berhasil membangun filsafat humanisme dalam perwujudan nalar etika Islam yang mengenyahakan nalar ortodoksi serta mengawinkannya dengan filsafat. Miskawyh dalam karya Tadzhib al-Akhlâq-nya membangun etika berdasarkan ontologi rasional Igrik, sementara Abu Hayan al-Tawhidi membangun humanisme murni dalam sejumlah karya-karyanya.
3. Era skolastik. Era ini dimulai sejak abad ke lima Hijriyyah. Yang ditandai dengan kemunduran nalar Islam dan menyeruaknya bentuk-bentuk ortodoksi agama, dengan menguatnya nalar pragmatis pembebekan dibanding nalar ilmiah. Era ini merupakan babak-babak era keterpenjaraan akal Islam. Jika pun ada dan bertahan, nalar ilmiah ini mesti ditopang oleh dukungan penguasa setempat.
 4. Era modern. Era ini tidak jauh berbeda dengan era sebelumnya sebagai era kejumudan dan pembebekan serta hegemoni ortodoksi. Ini dipandang dari persepsi, bahwa era ini masih mewarisi era skolastik secara dominan –sekalipun mulai ada rinai-rinai pembaharuan yang dibawa Muhamad Abduh yang getol mengkampanyekan gerakan kembali ke salaf: masa di mana belum timbul perselisihan umat.30

Dengan membagi sejarah nalar sedemikian rupa di atas, Arkoun bermaksud untuk menjelaskan terma “yang terpikirkan” (le pensable/thinkable), “yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthinkable) dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable/not yet thought), untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran Arab- Islam. Tentunya terma ini amat kental terpengaruh metodisasi ‘diskontinuitas’ ala Michel Foucault atas penggalan-penggalan, mutasi-mutasi, dan retakan-retakan epistemik dan geologi sejarah nalar Islam. Terma “yang terpikirkan” adalah hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Karena keterjangkauannya yang diperbantukan oleh bahasa, pikiran, dan kondisi masyarakat.31 Sementara “yang tak terpikirkan” adalah hal-hal “tabu” akibat kemampuan akal sejarah yang belum sampai ke sana atau karena tersumbatnya pemikiran yang ada oleh sebab tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan yang berlaku saat itu. Atau ketertindasan pemikiran tersebut oleh faktor agamawan maupun penguasa politik.32 Dan, karenanya, Arkoun pun ingin membuka lebar-lebar wilayah tak terpikirkan ini yang menurutnya sudah saatnya melebar di era kontemporer.

Arkoun menekankan pentingnya bercermin terhadap masa lampau bukan berarti harus mengikuti arus balik serta mereproduksi tanpa produktivitas pemikirannya, melainkan agar bisa “bertamasya” serta menganalisa ulang terhadap diskursus yang terjadi pada masa lalu itu. Bertujuan demi menemukan problem solving dengan konteks kekinian -atau bisa juga sebaliknya: maju-mundur, karena besar kemungkinan akan menemukan solusinya dengan menelisik akar genealoginya. Tak heran pula jika sering terserak dalam kitab-kitabnya terma la raison emergente: yang berarti hasrat melampaui segala apa yang pernah dicapai oleh muslimin, di satu sisi, dan hasrat mengatasi akal modern dan post modern sekaligus, di sisi lain.33 Untuk mencapai tujuan itu, ia mendapuk segala perangkat-perangkat metodologi post-strukturalis guna dimodifikasi dan dijadikan metode nalar postulat interdisipliner yang lebih dikenal sebagai Islamologi Aplikatif: satuan piranti yang “diislamkan” atau disesuaikan dengan fragment keislaman. Secara holistik ia mencabarkannya sebagai suatu metode kajian yang concern terhadap segala objek yang berhubungan dengan kehidupan manusia secara umum. Di mana manusia, sebagai makhluk berakal, tidak akan lepas dari jejaring entitas yang demikian kompleks: mulai bahasa, sosial, individual, politik, ekonomi, sejarah, psikis, rasional, imaginatif, religius, dan sebagainya.34

Tak bisa disangkal, gugus tujuan kritik Arkoun tidak bersifat historis melainkan epistemologis. Historitas dan antropologi tampaknya hanya menjadi kendaraan untuk mencapai tujuannya: menuju kritik sistematika nalar Islam. Di mana analisa sistematik ini diawali dengan penyejajaran nalar Islam dengan imajinasi sosial kaum muslimin. Nalar Islam diidentikan dengan kekakuan penafsiran, kekuatan politik, dan imajinasi sosial. Yang dalam pada itu pula tersimpan diam-diam ruh-ruh kebebasan, modernitas, perubahan dan perbedaan. Dialektika antara keduanya menjadi tema sentralnya. Imaginaire telah tersingkir dan ditebus dengan analisa kritis interdisipliner baru tentang nalar Islam versinya. Tentunya, dengan mengaplikasikan perangkat-perangkat (post) strukturalis, yang, darinya, (berharap-harap) akan mampu membebaskan nalar ummat Muslim. Belajar (mencoba-coba) untuk berpikir terhadap segala hal yang dianggap tak terpikirkan oleh ulama kolot. Sejatinya kritik nalar Islam ini tidak hanya mendekonstruksi terhadap epistema ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan. Sebab jika Arkoun berhasil melakukan kritik-kritiknya niscaya ia telah membuat catatan sejarah yang belum pernah terjadi dalam bentangan sejarah Islam. Ia akan dikenal sebagai revolusioner pengetahuan Islam.

Kritik Atas Epistemologi Mohammed Arkoun
Secara historis, pertarungan antara agama dan ilmu pengetahuan telah terjadi di Eropa. Pertarungan keduanya semakin gencar dan “blak-blakan seiring dengan penemuan-penemuan ilmiah yang dihasilkan ilmu pengetahuan modern yang dimulai sejak revolusi politik di Prancis dan revolusi industri di Inggris. Sejak masa itu, dominasi kaum Clergy (rahib, atau kalangan gerejawi)—sebagai kelompok elit kecil—yang sejak ribuan tahun mendominasi dan menghegemoni kekuasaan dalam bidang sosialkemasyarakatan sebagai penentu kebijakan (decision maker) runtuh hancur-lebur tatkala teologi yang selama ini menjadi legitimasi mereka harus berhadapan dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan. Isu-isu sosial yang pada awalnya berkenaan dengan sosial, ekonomi dan politik berkembang menjadi isu-isu yang menggugat dimensi transendental, yakni agama. Dialog inipun kemudian berujung pada pemisahan dua kebenaran yang tidak bisa disatukan satu sama lain. Kebenaran agama pada satu sisi, dan kebenaran ilmu pengetahuan pada sisi lain. Karena itu, muncullah istilah yang saat ini disebut “sekularisme”.

Namun, dalam sejarah Islam event pertarungan antara kaum intelektual dengan fuqoha tidaklah terjadi, Islam menghargai pengetahuan sebagaimana Islam menghargai keyakinannya pada Rasulullah. Al-Quran sebagai kitab suci yang tiada satupun keterangan di dalamnya yang tidak dapat diuraikan untuk penelitian ilmiah, baik yang berhubungan dengan realitas-realitas alam, genetika, atau kajian-kajian tentang kedalaman laut. Bahkan, sungguh Al-Qur'an telah membuktikan kebenarannya lewat keterangan yang mendetail tentang pertumbuhan janin, seperti yang kita kenal sekarang yang tidak mungkin dibuktikan, kecuali dengan menggunakan alat pendeteksi dalam rahim. Sekalipun demikian, al-Quran adalah hakikat-hakikat yang berhubungan dengan ushuluddin, bukan hakikat-hakikat ilmiah, dan bukan dengan elaborasi penyingkapan ilmiah, kebenaran wahyu hakiki akan tergapai, karena Al-Qur'an bukanlah ringkasan ilmu-ilmu fisika, biologi, atau kimia. Sekalipun demikian, sejarah telah mencatat keberhasilan ulama-ulama terdahulu yang telah melahirkan disiplin-disiplin pengetahuan dari pendalaman mereka terhadap al-Quran, sesuai dengan afiliasinya masing-masing.

Sepertinya Arkoun dengan proyek kritik nalar Islamnya hendak menggiring sejarah Islam pada fase pertarungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Menempatkan agama sebagai pengetahuan yang bersifat mitos dan ia berada di pihak pengetahuan yang bersifat rasional. Dengan menggunakan disiplin ilmu humaniora, antropologi, arkeologi pemikiran dll, ia ingin menunjukkan pada umat Islam bahwa al-Quran tidak lepas dari historisitas, dan bahkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan yang lahir dari padanya didakwakan sebagai penyebab kejumudan nalar Islam. Arkon tidak memperhitungkan seluruh informasi yang menyatakan ke-otentikan transmisi dan kompilasi al-Quran. Sekalipun seluruh informasi itu bisa diuji dan dibuktikan keilmiyahannya.
Perlu kita ketahui, sosiologi sebagai disipilin ilmu humaniora, demikian juga antropologi sebagai anak cabangnya, bukan merupakan disiplin ilmu normatif melainkan suatu disiplin yang kategoris, artinya sosiologi membatasi pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan mengenai apa yang seharusnya terjadi. Sebagai suatu pengetahuan, sosiologi membatasi diri terhadap “penilaian ideologis” atau subjektivitas tertentu. Artinya tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang, dalam arti memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan maupun keagamaan dari proses lawatan sejarahnya. Pandangan-pandangan sosiologis tidak dapat menilai apa yang buruk dan apa yang baik, apa yang benar dan apa yang salah serta segala seuatu yang bersangkut terhadap nilai kemanusian. Dengan demikian, sosiologi hanya merupakan ilmu pengetahuan murni (pure science) dan sama sekali bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan atau terpakai (applied science).35 Dari sudut penerapannya ilmu pengetahuan menjadi dua bagian. Ilmu pengetahuan murni adalah ilmu yang bertujuan membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak hanya untuk mempertinggi mutunya, tanpa menggunakan dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan terapan adalah ilmu yang bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu tersebut dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat maupun keagamaan. Dalam hal ini, sosiologi bukanlah pengetahuan ilmu terapan, sebab hanya bertujuan mendapatkan fakta-fakta masyarakat yang mungkin dapat dipergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatan.36

Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah dengan pendekatan sosiologi-antropologi terjebak atau terbagi dalam dua hal. Pertama, pendekatan biografis, yakni penguraian bahwa sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Sebab, bagaimanapun, pemikiran tak bisa dilepaskan dari jejaring para pemikir yang menghasilkan pemikiran tersebut. Dengan menjelaskan biografi dan perjalanan sejarah pemikir; diskursus pemikiran dengan sendirinya praktis tereksplorasi.

Kedua, pendekatan taksonomis. Sebuah penguraian sejarah pemikiran berdasarkan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Fenomena pemikiran ini didekati lewat hasil klasifikasi-klasifikasi berdasarkan mazhab pemikiran (school of thought). Misalnya, membagi mazhab pemikiran tersebut pada Syiah, Suni, Muktazilah dan sebagainya. Dan kebanyakan, ekses menampilkan pendekatan ini, penulis kadang tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada salah satu arus pemikiran tertentu. Selalu ada bias-bias dari penulis untuk menampilkan ide pemikiran tertentu dan, demi ideologi kepentingannya, kadang mengaburkan pandangan lainnya. Padahal ini merupakan kecacatan etika pengetahuan –dalam konteks keilmuan sosialisme– karena tidak boleh ada keberpihakan atau pra asumsi penilaian.

Dan Arkoun tampaknya mengikut pada pendekatan kedua. Bahkan, disadari atau tidak, ikut hanyut untuk menjadi bagian pemain di dalamnya. Menampilkan mazhab yang terpinggirkan menjadi aktor utama dalam proyek Kritik nalar Islamnya –seperti pembelaan kental terhadap rasionalitas Muktazilah atau filsafat Ibn Rusyd. Ia, dengan demikian, melanggar rambu-rambu etika sosiologi-antropologis, dengan inkonsistensinya
terhadap aturan pengetahuan tersebut. Dari sini, setidaknya sudah menyiratkan kepentingan tertentu. Ada bias-bias ideologis yang bersemayam dalam buncahan pemikiran Arkoun. Bahkan ditengarai, gara-gara “kepanasan” dengan sejarah pencerahan Eropa. Sebab Eropa, dalam dongeng sejarahnya, terbagi menjadi atas fase modern dan post modern.
Tradisi mengkaji al-Quran dikalangan orientalis telah berjalan cukup lama. Tapi kajian mereka tentu tidak sama dengan kajian para ulama. Ketika para orientalis mengkaji al-Quran, mereka memang merujuk kepada sumber-sumber Islam. Namun sikap mereka yang selektif terhadap fakta-fakta sejarah al-Quran menunjukkkan adanya suatu kepentingan tertentu. Upaya untuk meruntuhkan otentisitas Mushaf Uthmani tampak lebih menonjol dibanding tujuan lainnya. Syubhat ini kemudian dilanjutkan oleh intelektual Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Arkoun. Bahkan, di atas syubhat tersebut ia membangun mega proyeknya yaitu ‘kritik nalar Islam’. Proyek inipun langsung menyentuh sisi paling sensitif dalam bangunan epistemologi Islam. Dengan kajian ini, ia berharap bisa membebaskan umat Islam dari belenggu doktrinitas yang telah berlaku sejak meninggalnya rasulullah Muhammad saw. Ia berusaha memutus jalur ilmu pengetahun Islam. Namun, sebagaimana mereka orientalis dan para penyeru nihilisme, Arkoun tidak menyuguhkan solusi bagi kebangkrutan nalar yang sudah ia bongkar. Ia hanya mengkaji, mendekonstruksi dan disaat yang sama ia membiarkan ideologi Islam tercerai berai.